“Bi Supi, Bi Supi…! Mana kantong plastik kecil yang kemarin saya minta Bi Supi simpankan?” tanya Mia. Sore itu ia sudah siap berangkat ke rumah Riris, saudara sepupunya.
Bi Supi, pembantu yang sudah berambut putih dan hitam itu mengerutkan keningnya.
“Kantong plastik yang mana, ya?” Bi Supi malah balas bertanya.
“Aduuuh, Bi Supi ini bagaimana, sih? Yang hitam itu, lho… kantong plastik kecil berisi bibit cabai. Kemarin pulang sekolah kan saya berikan pada Bi Supi!” keluh Mia tidak sabar.
“Nanti Bi Supi cari dulu. Kalau tidak salah di dapur, eeeh, sepertinya Bi Supi masukkan ke kamar Non Mia,” kata Bi Supi dengan wajah khawatir.
Mia turut mencari kantong itu dan akhirnya menemukannya di atas kulkas.
Mama yang tahu masalah itu berkata, “Sudah, lain kali simpan sendiri saja. Kamu kan tahu Bi Supi sudah tua.”
Mia pergi ke rumah Riris. Riris menerima bibit pohon cabai itu dengan gembira.
“Terima kasih, ya. Oooh, akhirnya aku akan punya pohon cabai,” kata Riris sambil mengamat-amati bibit cabai itu.
Kemudian Mia bercerita tentang Bi Supi yang mulai pikun. “Kalau tadi aku tidak menemukannya di atas kulkas, ya aku tidak jadi ke rumahmu,” kata Mia. “Kupikir Bi supi itu lebih baik berhenti dan pulang kampung saja.”
Riris memandang Mia dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalau tidak salah Bi Supi itu kan sudah lama bekerja di rumahmu,” kata Riris.
“Bukan lama lagi. Sejak mamaku masih di SMP sampai punya anak sebesar aku. Waktu Mama menikah, Oma menyuruh Bi Supi ikut dan bekerja sama Mama. Waktu Mama belum pintar masak, jadi belajar sama Bi Supi,” Mia menjelaskan.
“Tuhan menghargai orang yang setia. Jangan berpikir untuk memberhentikan Bi Supi. Lebih baik tolong dia supaya tidak cepat pikun,” saran Riris.
Lalu Riris memberi tahu bahwa Oma melakukan senam mengepalkan tangan, menekuk siku dan menggulung kedua lengan ke depan dan kemudian ke belakang supaya tidak pikun. Ia juga membaca buku, mengisi teka-teki silang dan menyalin artikel kesehatan.
Di rumah Mia mengajarkan Bi Supi gerakan tangan tersebut. Bi Supi mengikutinya, tetapi berkata, “Lha, otak yang pikun koq tangan yang digerakkan?”
“Ya, itu kan ada hubungannya,” jawab Mia. “Bi Supi harus melakukannya tiap hari.”
“Baik, Non, kalau tidak lupa,” jawab Bi Supi dan Mia menghela napas.
Mia mengambil koran Minggu dan mengajarkan cara mengisi teka-teki silang. Bi Supi membaca, “Lima mendatar: ibu kota Italia, empat huruf. Italia itu apa toh? Sebelas menurun: seni merangkai bunga Jepang, tujuh huruf….Yo, apa ini? Susah semua!”
Mia menggeleng-gelengkan kepala. Ia memberi Bi Supi buku cerita “Misteri kapal hantu.”
“Uuuuh, kalau baca ini nanti Bi Supi tidak bisa tidur. Habis ada hantu segala,” kata Bi Supi. “Lebih enak nonton sinetron daripada baca buku.”
Seperti nasihat Mama, akhirnya Mia mendoakan Bi Supi.
Dua minggu kemudian ketika Mia naik bis pulang sekolah, ada seorang pria yang menjajakan buku memasak.
“Masakan dan kue lezat! Disukai banyak orang. Hanya Rpn10.000,-!” serunya berulang-ulang dan membagi-bagikan buku memasak itu untuk dilihat penumpang bis.
Mia membelinya sebuah. Bi Supi suka memasak, mungkin ia tertarik, pikirnya.
Setiba di rumah Mia segera memberikannya kepada Bi Supi.
“Waaah, ada gambarnya, ada bahannya, ada cara membuatnya,” kata Bi Supi dengan gembira dan semangat. Langsung ia membaca buku itu.
Esoknya ketika pulang sekolah Mia menemukan masakan yang tidak biasa tersaji di atas meja makan. Jagung baby dimasak dengan cumi dan cabe hijau. Wah, ternyata rasanya lezat.
“Itu resep dari buku memasak yang dibelikan Non Mia,” kata Bi Supi dengan bangga.
“Kalau Bi Supi suka membaca nanti baca buku cerita yang bagus, ada cerita tongkat yang bisa jadi ular, ada anak yang lahir di kandang domba, ada menantu yang sayang mertua, dan lain-lain yang bagus,” kata Mama.
“Waah, kalau itu Bi Supi mau tahu ceritanya,” kata Bi Supi.
Mia segera mengambilkan buku cerita Alkitab bergambarnya. Ia yakin dengan membacanya Bi Supi tidak akan cepat pikun. Apakah ceritanya bagus-bagus.
Dari Majalah Kita
Cerita oleh : Kak Widya
Related Post